SIMALUNGUN – Proses belajar mengajar di SD Negeri 091365 Sihalpe yang terletak di Nagori Sihalpe, Kecamatan Haranggaol Horisan, Kabupaten Simalungun, dalam kondisi memprihatinkan.
Karena SD Negeri yang berada di pinggiran Danau Toba ini hanya memiliki dua orang guru yang mengajar untuk kelas satu sampai kelas enam. Teknik mengajar kedua guru itu dilakukan dengan cara berpindah-pindah kelas.
Meski demikian, K br Pasaribu dan Boru Sipayung yang berjuang sebagai tenaga pendidik dilokasi terpencil itu ternyata hanya menerima gaji Rp 1 juta dan Rp 500 ribu per bulan. Keduanya masih berstatus honorer.
Sementara Kepala Sekolah Jennius Damanik berstatus ASN/PNS, namun tidak ikut mengajar dengan alasan karena menjabat kepala sekolah juga di SD Negeri Gaol, yang berada tak jauh dari SD Sihalpe.
Kondisi itupun dikeluhkan oleh Guru SD Sihalpe K br Pasaribu. Telah mengabdi selama 15 tahun, namun belum ada penghargaan dari pemerintah.
“Gajiku masih satu juta status honorer selama 15 tahun,” ungkapnya saat diwawancarai baru-baru ini.
Dia menuturkan, seorang rekannya, ternyata masih baru memulai mengajar di tahun ini (2022). Ditahun-tahun sebelumnya hanya dia yang mengajar di kelas satu sampai dengan kelas enam.
Dengan kondisi itu, mereka merasa kewalahan. Demi berjalannya sistem pendidikan dengan baik dan produktif di sekolah itu, boru Pasaribu berharap kepada Pemkab Simalungun agar dapat menambah guru dan menghargai mereka dengan cara menaikkan status menjadi PPPK.
Kepala Sekolah Jennius Damanik saat coba dikonfirmasi terkait hal ini tidak berhasil karena sedang tak berada dilokasi.
Terpisah, Kepala Dinas Pendidikan Pemkab Simalungun Zocson Silalahi saat dikonfirmasi dikantornya mengaku bingung mengatasi persoalan di SD Sihalpe.
“Saya juga bingung, soalnya tidak ada guru yang mau mengajar disana,” ujarnya.
Dia mengaku Dinas Pendidikan pernah merencanakan melakukan penyatuan antara SD Sihalpe dengan SD Negeri Gaol, namun ditolak oleh warga atau orangtua siswa karena jarak tempuh siswa ke sekolah akan semakin jauh.
“Orangtua siswa tidak mau. Sebenarnya kalau sekolah itu disatukan, maka jumlah akumulasi siswa bertambah dan guru juga bisa bertambah. Tapi mereka tidal mau, makanya saya pun sudah bingung,” tandasnya. (GP/Jos)