Medan – Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara dari Fraksi PDI Perjuangan, Franky Partogi Wijaya Sirait mendesak Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk melakukan evaluasi total terhadap pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG)
Dorongan ini muncul menyusul kasus dugaan keracunan massal yang dialami puluhan siswa SMP Negeri 1 Laguboti, Kabupaten Toba, setelah mengonsumsi makanan dari program MBG yang disediakan di sekolah. Peristiwa tersebut menimbulkan kepanikan di kalangan guru dan orang tua siswa karena banyak pelajar mengalami gejala mual, pusing, dan muntah tak lama setelah jam makan siang.
Para korban langsung dievakuasi ke sejumlah fasilitas kesehatan, seperti RS HKBP Balige, RSUD Porsea, dan Puskesmas Laguboti, untuk mendapatkan perawatan medis. Dinas Kesehatan Kabupaten Toba telah mengambil sampel makanan untuk diuji laboratorium guna memastikan penyebab pasti keracunan tersebut.
Menanggapi hal itu, Franky menyampaikan keprihatinannya dan menilai insiden tersebut harus menjadi peringatan serius bagi pemerintah agar lebih ketat dalam pengawasan mutu makanan di program MBG.
“Kejadian di Laguboti membuktikan bahwa pengawasan terhadap kualitas makanan di lapangan masih sangat lemah. Program yang seharusnya menyehatkan justru bisa membahayakan jika tidak dikelola dengan standar gizi dan higienitas yang ketat,” ujar Franky
Bahkan pada saat melaksanakan kegiatan reses yang dilaksanakan Franky pada 5-14 Oktober 2025 di dapil Kota Pematangsiantar dan Kabupaten Simalungun lalu, Franky juga menerima banyak aspirasi masyarakat yang menyoroti kualitas makanan MBG yang sering dianggap tidak layak konsumsi dan pendistribusiannya yang tidak transparan.
Ibu Ani Sihombing, warga Rambung Merah, Kabupaten Simalungun, mengaku khawatir anaknya menjadi korban program tersebut.
“Makanannya sering dingin, bahkan ada yang sudah basi. Kami takut anak-anak jadi korban keracunan seperti yang terjadi di daerah lain. Bahkan tak jarang saya berpesan pada anak agar membawa makanannya pulang supaya saya bisa mencicipinya terlebih dahulu,” ungkapnya Ibu Ani mewakili keresahan ibu-ibu
Sementara itu, Jhon Horas Silalahi, warga Bah Kapul, Kecamatan Siantar Utara, menilai pelaksanaan program MBG di wilayahnya tidak transparan dan tidak melibatkan masyarakat.
“Kami tidak tahu siapa pelaksana dan dari mana bahan makanannya. Kalau program ini untuk rakyat, seharusnya terbuka dan bisa diawasi bersama. Di beberapa sekolah, makanan justru tidak dimakan karena dianggap tidak layak,” katanya.
Franky menegaskan, niat baik pemerintah untuk meningkatkan gizi pelajar harus diiringi dengan pengawasan ketat, transparansi, dan tanggung jawab moral dari pihak pelaksana di lapangan.
“Saya mendukung penuh kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil, tetapi kalau pelaksanaannya tidak sesuai prinsip gizi, higienitas, dan keterbukaan, program ini justru kontraproduktif,” tegasnya.
Sebagai tindak lanjut, Franky menyatakan akan membawa seluruh aspirasi dan kejadian di Lapangan saat reses tersebut ke dalam rapat komisi DPRD Provinsi Sumatera Utara, serta mendorong digelarnya Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, dan Inspektorat Provinsi Sumut
“Kami ingin memastikan bahwa setiap rupiah dari anggaran rakyat digunakan tepat sasaran dan memberi manfaat nyata. Jika ditemukan penyimpangan atau pelaksanaan yang tidak sesuai ketentuan, maka harus segera diperbaiki,” tegasnya.
Sebagai solusi, Franky mengusulkan agar pemerintah mempertimbangkan skema bantuan sembako bergizi atau Bantuan Langsung Tunai (BLT) pangan langsung pada orang tua sebagai alternatif yang lebih efisien dan aman.
“Orang tua lebih tahu kebutuhan gizi anaknya. Jika bantuan diberikan dalam bentuk sembako atau uang, daya beli masyarakat meningkat, pedagang lokal tetap hidup, dan anak-anak terpenuhi gizinya tanpa risiko keracunan,” tutup Franky. (rel)